Ulasan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri (Kompas,
22/12/2011) sangat menginspirasi dan menyejukkan di tengah kegerahan
membaca berita soal impor ikan. Namun, apakah dengan (ulasan) itu lalu
produksi ikan Indonesia akan pulih kembali?
Sebagai negara produsen ikan, kita terpuruk akibat program orientasi
industri yang ambisius. Nilai kearifan lokal ditinggalkan, ekosistem
perairan dan pesisir sebagai tempat pemijahan ikan banyak yang rusak.
Pertanyaannya, dengan hitungan potensi di atas kertas yang melimpah
itu, sebagaimana diulas Rokhmin Dahuri, apakah produksi ikan Indonesia
akan mampu melampaui India atau mendekati China?
Tak dikelola dengan baik
Selama 10 tahun lebih menekuni usaha budidaya, di antaranya marine
culture, serta menyaksikan fakta di lapangan, yang diperlukan adalah
langkah nyata. Lupakan dahulu teori produksi yang pernah dilakukan. Para
pelaku bisnis di sektor perikanan berharap perlu ada skala prioritas
jika ingin memperbaiki produksi perikanan yang besar potensi tetapi
miskin produksi itu.
Di sektor perikanan tangkap, menumpuknya kapal tuna longline di
Pelabuhan Benoa, Bali, membuktikan armada perikanan kesulitan
mendapatkan ikan. Biaya yang dikeluarkan tak sebanding dengan penjualan
ikan tangkapan. Pengusaha kapal tuna memutuskan memarkir kapal karena
tangkapan terus menurun.
Seperti dilaporkan Asosiasi Tuna Longline Indonesia, tangkapan tuna
sekitar 950 kapal longline pada 2009 mencapai 32.504 ton. Jumlah ini
turun tajam pada 2010, di mana produksinya kurang dari separuh capaian
tahun sebelumnya.
Di harian ini pun sudah diulas panjang lebar kondisi sentra perikanan
tangkap utama di ranah bahari. Produksi ikan di Pelabuhan Muncar, Jawa
Timur, dan Bagan Siapiapi, Riau, turun drastis. Tanpa disadari,
eksploitasi besar-besaran perikanan tangkap menyebabkan stok ikan di
sebagian besar wilayah penangkapan mengalami overfishing dan fully
exploited. Kondisi ini dipacu pula penjarahan ikan oleh kapal-kapal
asing serta kerusakan ekosistem utama di laut seperti terumbu karang dan
padang lamun.
Di sektor budidaya, para pembudidaya harus menelan pil pahit akibat
pencemaran laut yang digunakan sebagai bahan baku utama tambak dan
hatchery, tempat penetasan, serta kerusakan lingkungan akibat program
intensifikasi. Udang vanamei yang diimpor dan diyakini tahan segala
serangan penyakit ternyata jadi sumber malapetaka karena ketergantungan
pada pakan konsentrat, yang telah menyebabkan lingkungan tambak
tercemar.
Pada awalnya usaha budidaya udang vanamei memang menguntungkan.
Setiap hektar tambak mampu memproduksi 5-6 ton, dengan kepadatan
rata-rata 100-150 ekor per meter persegi. Pembudidaya tradisional yang
semula menekuni udang windu (Penaeus monodon) pun banyak yang beralih
dan terpikat vanamei. Kenikmatan sesaat itu tidak berlangsung lama sebab
setelah 4 kali panen, produksi terus turun hingga di bawah 1 ton per
musim tanam selama 4 bulan akibat serangan virus dan penyakit.
Pengalaman membudidayakan rumput laut Gracilaria spp dan Eucheuma spp
di perairan Desa Gelung dan Gundih, Kecamatan Panurakan, Situbondo, dan
Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean, Jawa Timur, tidak sesuai harapan.
Kelompok nelayan yang dipilih untuk program pemberdayaan dengan modal Rp
750.000 untuk membeli bambu, tali plastik (sistem ancak), dan bibit
rumput laut 1,5 kuintal hanya menghasilkan 4,5 kuintal dan dijual Rp
1.500/kg basah. Produksi rumput laut per hektar yang dalam promosinya
bisa menghasilkan 30-40 ton dalam waktu relatif singkat, selama 45 hari,
ternyata sulit dibuktikan.
Demikian pula kondisi sentra penghasil rumput laut di Kabupaten
Pacitan, tepatnya di Desa Sidomulyo, Kecamatan Donomulyo, yang pernah
mendapat penghargaan nasional. Saat ini kondisinya terpuruk. Padahal,
pemerintah memberikan fasilitas gudang, tempat menjemur rumput laut, dan
menara air bersih.
Usaha budidaya marine culture bersama kelompok nelayan di perairan
Situbondo tak semulus yang dibayangkan. Ikan kerapu sebanyak 2.000 ekor
setelah 1 tahun baru bisa mencapai berat 500 gram/ekor. Selain itu,
kualitas air di Selat Madura yang buruk menyebabkan bentuk ikan tidak
wajar alias cacat (bengkok) sehingga dibeli murah di bawah harga pasar
oleh pembeli.
Perairan Situbondo yang menjadi daya tarik investasi marine culture
tak dikelola dengan baik. Seorang pengusaha budidaya kerapu di perairan
Asembagus kecewa setelah 500.000 bibit kerapu yang dibudidayakan dalam
200 keramba mati karena minim informasi soal kualitas air. Padahal,
tidak jauh dari lokasi ada Balai Budidaya Ikan Laut milik Kementerian
Kelautan dan Perikanan serta Dinas Perikanan Jawa Timur.
Pemerintah pun belum melirik potensi perikanan di pulau kecil. Hasil
usaha kelompok nelayan Mina Gili Makmur, NTB, kendati belum maksimal,
sudah menunjukkan prospek.
Pulau-pulau kecil sejatinya lebih berpeluang sukses sebagai kegiatan
budidaya mengingat tingkat pencemarannya relatif masih kecil. Budidaya
udang, bandeng, dan rumput laut dengan pola polikultur produksinya lebih
sehat karena dibudidayakan secara tradisional. Demikian pula budidaya
ikan air tawar seperti sidat, gurami, lele, dan nila untuk pulau-pulau
kecil yang memiliki sumber air bersih.
Revitalisasi birokrasi
Apa yang diungkap Rokhmin Dahuri memberikan
gambaran betapa besar potensi perikanan di negara kepulauan ini. Akan
tetapi, harus diakui, selama ini sektor perikanan salah urus.
Orientasi intensifikasi produksi telah membuat kita terlena dan
menikmatinya sesaat. Besarnya potensi jadi malapetaka yang memukul
sektor perikanan dari hilir ke hulu. Kebijakan memacu produksi telah
menjebak kita masuk perangkap liberalisme sehingga lumbung ikan dan
garam serta hasil laut lainnya terpaksa harus dimpor.
Kementerian Kelautan dan Perikanan harus merevitalisasi birokrasi
serta merevisi programnya yang tidak relevan dan tidak berorientasi
kepada masyarakat. Revitalisasi birokrasi di antaranya memangkas
sejumlah direktorat dan badan yang tidak relevan. Anggaran yang selama
ini sebagian besar untuk membiayai birokrasi dialihkan untuk usaha
masyarakat pesisir.
Pembangunan fisik, seperti membangun pelabuhan di perairan yang
sumber ikannya terbatas, supaya dihentikan. Modal kerja untuk nelayan
dan pembudidaya, yang selama ini dititipkan bank, bagaimana caranya bisa
langsung diterima kelompok usaha nelayan/petambak atau koperasi mina
dengan aman.
(Oki Lukito Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan/ Opini kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar