Pantai Prigi





Budidaya Rumput Laut

Rabu, 10 Agustus 2011 

Rumput laut menjadi komoditi baru di bidang budidaya air payau di  Kabupaten Pasuruan. Dikembangkan secara luas sejak tahun 2006 dengan jenis  Gracillaria sp. Pembudidayaan rumput laut menggunakan  metode budidaya Broadcast (sebar) dan Long line di tambak. Sedangkan teknologi budidayanya  tradisional dan tradisional plus sistem polyculture yaitu campuran udang-bandeng-rumput laut.

 Peluang pengembangan rumput laut di kabupaten Pasuruan masih terbuka lebar karena tersedia lahan potensial yang mencapai  420 Ha tersebar di 4 kecamatan yaitu Bangil, Kraton, Rejoso dan Lekok. Dari luasan itu yang sudah dimanfaatkan sebagai lahan budidaya rumput laut mencapai 225 Ha yang mayoritas berada di Kecamatan Kraton.

Dibawah binaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasuruan jumlah kelompok pembudidaya rumput laut terus berkembang dari 91 orang ditahun 2006 menjadi 290 orang ditahun 2008.  Produksinyapun terus meningkat terakhir mencapai  655,36 ton rumput laut basah. Dengan puncak produksi pada bulan April-September.

Disamping kelompok pembudidaya,  sudah ada kelompok petani sebagai penyedia bibit dan kelompok pemasaran  rumput laut.  Rumput laut produksi petani dipasarkan dalam kodisi kering dan sudah bisa diterima industri pengolahan rumput laut di Pasuruan, Malang dan Surabaya. Dari  uji yang dilakukan  PT. ASML Purwosari Pasuruan kandungan tepung rumput laut berkisar antara 600 – 800 gr/cm2.

Tingginya produksi rumput laut ini menjadikan Kabupaten Pasuruan sebagai sentra baru penghasil rumput laut di Jawa Timur yang  tentunya bisa dimanfaatkan oleh  investor dan industri yang bergerak dibidang  rumput laut.dkp/08-09

Besar Potensi, Miskin Produksi

16 Januari 2012, 07:34 WIB

Ulasan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri (Kompas, 22/12/2011) sangat menginspirasi dan menyejukkan di tengah kegerahan membaca berita soal impor ikan. Namun, apakah dengan (ulasan) itu lalu produksi ikan Indonesia akan pulih kembali?

Sebagai negara produsen ikan, kita terpuruk akibat program orientasi industri yang ambisius. Nilai kearifan lokal ditinggalkan, ekosistem perairan dan pesisir sebagai tempat pemijahan ikan banyak yang rusak.

Pertanyaannya, dengan hitungan potensi di atas kertas yang melimpah itu, sebagaimana diulas Rokhmin Dahuri, apakah produksi ikan Indonesia akan mampu melampaui India atau mendekati China?

Tak dikelola dengan baik
Selama 10 tahun lebih menekuni usaha budidaya, di antaranya marine culture, serta menyaksikan fakta di lapangan, yang diperlukan adalah langkah nyata. Lupakan dahulu teori produksi yang pernah dilakukan. Para pelaku bisnis di sektor perikanan berharap perlu ada skala prioritas jika ingin memperbaiki produksi perikanan yang besar potensi tetapi miskin produksi itu.

Di sektor perikanan tangkap, menumpuknya kapal tuna longline di Pelabuhan Benoa, Bali, membuktikan armada perikanan kesulitan mendapatkan ikan. Biaya yang dikeluarkan tak sebanding dengan penjualan ikan tangkapan. Pengusaha kapal tuna memutuskan memarkir kapal karena tangkapan terus menurun.

Seperti dilaporkan Asosiasi Tuna Longline Indonesia, tangkapan tuna sekitar 950 kapal longline pada 2009 mencapai 32.504 ton. Jumlah ini turun tajam pada 2010, di mana produksinya kurang dari separuh capaian tahun sebelumnya.

Di harian ini pun sudah diulas panjang lebar kondisi sentra perikanan tangkap utama di ranah bahari. Produksi ikan di Pelabuhan Muncar, Jawa Timur, dan Bagan Siapiapi, Riau, turun drastis. Tanpa disadari, eksploitasi besar-besaran perikanan tangkap menyebabkan stok ikan di sebagian besar wilayah penangkapan mengalami overfishing dan fully exploited. Kondisi ini dipacu pula penjarahan ikan oleh kapal-kapal asing serta kerusakan ekosistem utama di laut seperti terumbu karang dan padang lamun.
 
Di sektor budidaya, para pembudidaya harus menelan pil pahit akibat pencemaran laut yang digunakan sebagai bahan baku utama tambak dan hatchery, tempat penetasan, serta kerusakan lingkungan akibat program intensifikasi. Udang vanamei yang diimpor dan diyakini tahan segala serangan penyakit ternyata jadi sumber malapetaka karena ketergantungan pada pakan konsentrat, yang telah menyebabkan lingkungan tambak tercemar.

Pada awalnya usaha budidaya udang vanamei memang menguntungkan. Setiap hektar tambak mampu memproduksi 5-6 ton, dengan kepadatan rata-rata 100-150 ekor per meter persegi. Pembudidaya tradisional yang semula menekuni udang windu (Penaeus monodon) pun banyak yang beralih dan terpikat vanamei. Kenikmatan sesaat itu tidak berlangsung lama sebab setelah 4 kali panen, produksi terus turun hingga di bawah 1 ton per musim tanam selama 4 bulan akibat serangan virus dan penyakit.

Pengalaman membudidayakan rumput laut Gracilaria spp dan Eucheuma spp di perairan Desa Gelung dan Gundih, Kecamatan Panurakan, Situbondo, dan Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean, Jawa Timur, tidak sesuai harapan. Kelompok nelayan yang dipilih untuk program pemberdayaan dengan modal Rp 750.000 untuk membeli bambu, tali plastik (sistem ancak), dan bibit rumput laut 1,5 kuintal hanya menghasilkan 4,5 kuintal dan dijual Rp 1.500/kg basah. Produksi rumput laut per hektar yang dalam promosinya bisa menghasilkan 30-40 ton dalam waktu relatif singkat, selama 45 hari, ternyata sulit dibuktikan.
 
Demikian pula kondisi sentra penghasil rumput laut di Kabupaten Pacitan, tepatnya di Desa Sidomulyo, Kecamatan Donomulyo, yang pernah mendapat penghargaan nasional. Saat ini kondisinya terpuruk. Padahal, pemerintah memberikan fasilitas gudang, tempat menjemur rumput laut, dan menara air bersih.

Usaha budidaya marine culture bersama kelompok nelayan di perairan Situbondo tak semulus yang dibayangkan. Ikan kerapu sebanyak 2.000 ekor setelah 1 tahun baru bisa mencapai berat 500 gram/ekor. Selain itu, kualitas air di Selat Madura yang buruk menyebabkan bentuk ikan tidak wajar alias cacat (bengkok) sehingga dibeli murah di bawah harga pasar oleh pembeli.

Perairan Situbondo yang menjadi daya tarik investasi marine culture tak dikelola dengan baik. Seorang pengusaha budidaya kerapu di perairan Asembagus kecewa setelah 500.000 bibit kerapu yang dibudidayakan dalam 200 keramba mati karena minim informasi soal kualitas air. Padahal, tidak jauh dari lokasi ada Balai Budidaya Ikan Laut milik Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Dinas Perikanan Jawa Timur.

Pemerintah pun belum melirik potensi perikanan di pulau kecil. Hasil usaha kelompok nelayan Mina Gili Makmur, NTB, kendati belum maksimal, sudah menunjukkan prospek.

Pulau-pulau kecil sejatinya lebih berpeluang sukses sebagai kegiatan budidaya mengingat tingkat pencemarannya relatif masih kecil. Budidaya udang, bandeng, dan rumput laut dengan pola polikultur produksinya lebih sehat karena dibudidayakan secara tradisional. Demikian pula budidaya ikan air tawar seperti sidat, gurami, lele, dan nila untuk pulau-pulau kecil yang memiliki sumber air bersih.

Revitalisasi birokrasi
Apa yang diungkap Rokhmin Dahuri memberikan gambaran betapa besar potensi perikanan di negara kepulauan ini. Akan tetapi, harus diakui, selama ini sektor perikanan salah urus.

Orientasi intensifikasi produksi telah membuat kita terlena dan menikmatinya sesaat. Besarnya potensi jadi malapetaka yang memukul sektor perikanan dari hilir ke hulu. Kebijakan memacu produksi telah menjebak kita masuk perangkap liberalisme sehingga lumbung ikan dan garam serta hasil laut lainnya terpaksa harus dimpor.

Kementerian Kelautan dan Perikanan harus merevitalisasi birokrasi serta merevisi programnya yang tidak relevan dan tidak berorientasi kepada masyarakat. Revitalisasi birokrasi di antaranya memangkas sejumlah direktorat dan badan yang tidak relevan. Anggaran yang selama ini sebagian besar untuk membiayai birokrasi dialihkan untuk usaha masyarakat pesisir.

Pembangunan fisik, seperti membangun pelabuhan di perairan yang sumber ikannya terbatas, supaya dihentikan. Modal kerja untuk nelayan dan pembudidaya, yang selama ini dititipkan bank, bagaimana caranya bisa langsung diterima kelompok usaha nelayan/petambak atau koperasi mina dengan aman.

(Oki Lukito Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan/ Opini kompas)


PPN Prigi Kembangkan Program Minapolitan Bidang Perikanan




Redaktur: Edy M Yakub
COPYRIGHT © ANTARA 2015

Potensi Laut Selatan Tulungagung Belum Tergarap Optimal, Ini Kendalanya

Newswire   -   14 November 2014, 18:50 WIB 



Bisnis.com, TULUNGAGUNG—Potensi kelautan di kawasan pesisir selatan Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, hingga saat ini belum tergarap optimal, karena minimnya fasilitas sarana tangkap ikan dan faktor infrastruktur pelabuhan.

"Nelayan di kawasan ini hampir tidak ada yang memiliki kapal besar yang mampu mengarungi samudera hingga batas 20 mil. Hal ini menyebabkan hasil tangkap ikan mereka masih sangat minim," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tulungagung, Suprapto, Jumat (14/11/2014).
Ia mengatakan rata-rata produksi ikan di sembilan pantai yang ada di pesisir selatan Tulungagung diperkirakan masih kurang dari 70 ton.

Volume produksi itu masih jauh dari target produksi keseluruhan, yakni 100 ton atau 3.000 ton per bulan.

"Produksi ikan di kawasan ini seharusnya masih bisa ditingkatkan lagi," ujarnya.

Suprapto menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan hasil tangkapan ikan laut tidak maksimal.

Salah satu kendala yang menonjol adalah minimnya jumlah pelabuhan, sehingga tidak banyak nelayan dari daerah luar yang datang.

Para nelayan andon (pendatang) biasanya lebih suka tinggal dan beraktivitas di daerah yang memiliki sarana pelabuhan memadai, seperti Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi di Trenggalek, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tamperan di Pacitan, atau Pelabuhan Tambakrejo di Kabupaten Blitar yang memiliki sarana tempat pelelangan ikan.

Selain itu, lanjut dia, ukuran perahu nelayan di Tulungagung hampir semuanya berkapasitas kecil, sehingga hanya mampu menangkap ikan sejauh 10 hingga 15 mil saja.

"Padahal batas laut kita sejauh 20 mil sisanya masih belum tergarap sama sekali," kata Suprapto.

Untuk memaksimalkan daya tangkap ikan laut, Suprapto berharap pemerintah melirik pembangunan di wilayah Pantai selatan Jawa Timur.

Menurutnya, potensi laut selatan Jawa bisa melebihi wilayah pantai utara.

"Kami berharap pembangunan bisa dilakukan di wilayah selatan laut jawa," ujarnya.

Sebagai perbandingan, otoritas Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi mematok target produksi ikan selama kurun 2014 sebesar 24,43 ribu ton. Jumlah ini sedikit di atas target produksi tahun lalu yang tercapai sekitar 20 ribu ton.

Namun menurut Kepala PPN Prigi, Dwi Yuliono Rochayadi dalam satu kesempatan wawancara dengan Antara, disampaikan bahwa salah satu kendala utama penyebab rendahnya produksi ikan di kalangan masyarakat pesisir selatan Jawa, khususnya Trenggalek dan Tulungagung, adalah karena jiwa kebaharian mereka yang rendah.

"Tradisi sejarah melaut nelayan sini tidak sehebat seperti di daerah pantai utara atau Sulawesi yang bisa melaut hingga berhari-hari. Mereka menyadari hidup mereka di laut. Di sini tidak, melaut sehari tidak pulang saja keluarga di rumah sudah cemas," ujarnya.

Source : Antara
Editor : Wahyu Darmawan